Sebuah cerita dari teman lama :)
AKU ?
Kulangkahkan kaki
kecil ini di pagi yang seakan-akan
meledekku dengan senyum sinisnya. Terdengar nyanyian burung pipit dari rimbunan
dedaunan hijau bak sindiran mereka pada langkah lunglaiku. Aku tersenyum tapi
tak tahu apa arti dari sunggingan senyumku ini. Ingin aku tertawa lepas, tapi
aku bingung apa yang harus ditertawakan. Sesekali ku dongakkan kepala ini dan
kutatap tajam cerah biru langit yang menyelimuti bumi.
Hari ini tepat tanggal
11 agustus. Ya, tanggal yang begitu berarti bagi diriku. Tepat 18 tahun yang
lalu seorang bunda berjuang melawan sakit dan rasa takut demi buah hatinya yang
menginginkan melihat dunia ini setelah sembilan bulan bersembunyi dalam
rahimnya. Ansher, begitulah sang bunda memanggilnya. Yang berarti langit,
dan itulah namaku.
Di pagi yang sejuk ini
masih ada satu pertanyaan yang logikaku belum sanggup menjawabnya, dan menjadikan
diriku tak merasakan bahagia yang ada. Nampak remeh dan sederhana tapi sungguh
rumit dan berat saat ku renungkan. “Siapakah aku ?”, itulah pertanyaan yang
sempat membuat bulir bening retinaku menitik begitu deras, membuat diriku sadar
betapa tak mengenalnya aku pada diriku ini.
Langkahku masih belum
terhenti layaknya Odysseus, panglima dari bangsa Achaean yang berlayar selama
berpuluh-puluh tahun meninggalkan ketenangan dan terus mencari-cari jawaban
dalam gelisah. Dengan satu tujuan.
* * *
Sekarang langkah kaki
ini sudah tak lagi menginjak tanah Semarang, tempat di mana pertama kali aku
bisa mungucapkan kata “bunda”, tempat aku dididik dan dibesarkan. Karena sejak
beberapa bulan yang lalu aku sudah memutuskan untuk menetap di kota yang disanjung-sanjung
sebagai kota pendidikan, Jogja !... aku menetap disini bukan karena pindah
rumah ataupun merantau untuk mencari
penghasilan baru, tapi karena aku diterima disalah satu perguruan tinggi di Jogja.
Disini ku temukan ‘warna baru’ dari orang dan budaya yang kutemui. Mulai dari A
sampai Z, dari putih sampai hitam. Layaknya spectrum warna. Tapi nyatanya sampai saat ini aku belum menemukan
warna yang ada pada diri ini, warna yang masih dalam TANYA, padahal tak henti aku
mencarinya. Aku pikir dengan mengenal orang lain, aku mampu mendapatkan jawaban
atas pertanyaanku, tapi ternyata TIDAK.
Ketika
langit mendengar
menitik air karena buta.
Dan langit pun menatap,
tapi tak sanggup untuk melihat.
Dia berlari mengejar awan
ditinggal mentari dalam tawa.
Dia memeluk erat bumi
yang memberontak dan bertingkah.
Sering celoteh terdengar seakan dia bercanda
Padahal dia diam termenung.
Satu tanya seribu penjawab,
tapi tetap tak ada jawaban yang tepat.
menitik air karena buta.
Dan langit pun menatap,
tapi tak sanggup untuk melihat.
Dia berlari mengejar awan
ditinggal mentari dalam tawa.
Dia memeluk erat bumi
yang memberontak dan bertingkah.
Sering celoteh terdengar seakan dia bercanda
Padahal dia diam termenung.
Satu tanya seribu penjawab,
tapi tetap tak ada jawaban yang tepat.
Dan
tanpa henti mencari-cari jawaban,
tapi malah semakin banyak tanya yang menghadap
* * *
tapi malah semakin banyak tanya yang menghadap
* * *
“Hay boy,…..sore ini
masuk kuliah kah ?” Tanya haikal padaku. Dia adalah teman akrabku di jogja, dia
asli dari Kediri. Aku bingung dengan pertanyaannya, bukan apa apa sih, tapi
karena jujur aku juga tak tahu pasti
masuk kuliah atau tidak. Karena aku termasuk mahasiswa yang tidak begitu rajin.
“Kayaknya enggak masuk eh kal, kenapa emang ?
mau ngapel kerumah siapa ? hehee” sindirku padanya, karena setahuku dia masih
jomblo.
“Diiiiiiiih, tau-tau. Mentang-mentang banyak
yang naksir kau boy, seenaknya nyindir diriku yang jomblo ini”. Mulutku
terkunci rapat dan kaku karena perkataan yang terlempar dari bibir sahabatku
itu. Aku tak enak hati padanya. Memang benar yang dikatakannya, tapi biarlah.
Karena sungguh bukan itu yang aku harapkan untuk sekarang ini.
“Eh kal, aku punya
pertanyaan untukmu, menurutmu aku ini siapa ?”
“Hahahaa, apaan sih,
masak ngasih pertanyaan begitu ?” jawab haikal dengan nada bingung dan tak percaya.
“Serius ini kal !, siapakah aku ? aku yang
bukan ansher, bukan pula sahabatmu ataupun sebutan-sebutan yang lain. Jawab
dong jangkrik !”. Sungguh sampai saat ini aku masih mencari-cari jawaban
pertanyaan itu. Ku lihat haikal hanya terdiam tanpa merespon pertanyanku,
mungkin dia bingung, atau memang dia tak tau jawaban dari pertanyaanku itu ?..
aaakh, rasanya sia-sia aku bertanya seperti itu padanya. Toh aku malah menjadi semakin
bingung. bukannya jawaban yang aku dapatkan, tapi malah pertanyaan baru yang
ada. Jangan-jangan orang lain pun tak mengenali dirinya sendiri ? tapi kenapa
mereka tenang-tenang saja ? aku bingung, sungguh semakin bingung !! kenapa tak nampak sedikit pun diraut wajah
mereka kebingungan seperti yang aku alami sekarang ini.
“Hehehee, aku enggak
tahu. . .oh ya boy, dicariin fansmu lhoh, kemaren aku ketemu dia didepan
kampus”.
“Siapa ? jangan ngarang
cerita seenaknya sendiri, pasti kau salah
tuh bray !” ku kernyitkan dahiku dan kulihat mimik wajah haikal. Ku
lihat dimukanya tersirat keseriusan. Tapi aku masih tetap ragu-ragu untuk
mempercayainya.
“Serius ini, boy !.
kasihan lhoh, dia nanyain kamu terus” sebisa mungkin haikal
meyakinkanku.
“Siapa sih kal yang kamu maksud ?” aku bingung, dari tadi aku masih tetap gak ngeh dengan yang haikal sebut fansku itu.
“Siapa sih kal yang kamu maksud ?” aku bingung, dari tadi aku masih tetap gak ngeh dengan yang haikal sebut fansku itu.
“Tuh kan. Jadi begini
kalau kebanyakan fans. Anak kontrakan itu lhoh, indah” haikal tersenyum
tipis saat menyebutkan nama itu padaku, entah apa makna yang tersirat dari
senyumannya itu. Aku tak tahu.
“Terus gue harus
bilang WAWWW gitu ? hahahaa” aku coba untuk membelokkan alur pembicaraanku dan
haikal tentang indah.
“Yaudah, terserahmu
lah, aku cuma ngasih tau kok boy”.
“Hehee, iya, iya.
Makasih bray” pembicaraanku dan haikal tentang indah pun tak lagi
dilanjutakan. Aku pun memutuskan untuk kembali ke tempat kostku.
# # #
Genap
sudah satu bulan aku tidak lagi menetap di tempat kost, biaya yang tinggi memaksaku
untuk membereskan barang-barangku dan meninggalkan tempat kost. Kini aku
tinggal dimanapun alias gelandangan. Aku penuhi semua kebutuhanku dengan
hasil ngamen. Mulai dari kebutuhan yang berujung ke perut, sampai
kebutuhan untuk kuliah. Awalnya aku
canggung dengan pekerjaanku ini, tapi kini aku mencoba untuk
menikmatinya karena dengan ngamen lah aku tetap bisa duduk dibangku
perkuliahan.
“Gimana bos, dapat uang berapa malam ini ?” Tanya teman jalananku, teguh. Dia tinggi besar berkulit hitam dan berambut gondrong.
“Gimana bos, dapat uang berapa malam ini ?” Tanya teman jalananku, teguh. Dia tinggi besar berkulit hitam dan berambut gondrong.
“Lumayanlah,
dari pada kemarin”. Tangan ini masih saja memetik senar gitar yang aku pegang.
Ku nyanyikan beberapa lagu sambil menyusuri jalan menuju Malioboro. Terlihat berbagai
bentuk bangunan rumah berjejer indah di sepanjang perjalanan yang dihiasi
kerlap-kerlip lampu. Ada sedikit rasa tak enak yang merambat merasuki hati ini.
Andai saja aku punya tempat menetap lagi seperti dulu.
Ku sandarkan tubuh ini pada salah satu
tembok bangunan di Malioboro. Rokok, kopi dan makanan kecil menjadi temanku
menghabiskan malam yang dingin ini.
“Ansher,
… hey, Ansher” kudengar suara yang tak asing ditelinga ini. Dan mataku terus mencari-cari darimana asal panggilan
itu. Kuangkat alis ini dan kubuka mata lebar-lebar.
“Indah
tho ?” kusunggingkan senyum dibibir hitam ini, dan kupinta dia duduk
disampingku. Dia tanyakan kabarku dan kegiatanku sekarang ini. begitu pula aku
bertanya padanya. perlahan kujawab pertanyaan dia, dan dia pun menjawab semua
tanyaku.
“Ansher,
aku kangen kamu” tak tahu mengapa air mata indah menitik begitu deras dan terus
menetes, dia sandarkan kepalanya dibahu kananku dan tiba-tiba dia tak sadarkan
diri, dia pingsan. Aku bingung harus berbuat apa. Kutengok kanan dan kiriku,
kuminta bantuan orang-orang untuk menemaniku menggotong indah pulang
kekontrakannya, tapi semuanya seakan-akan buta dan tuli.
Sekuat tenaga aku angkat indah sendiri
dan kugendong dia. Jangkrik ! Ternyata dia tak seringan yang aku pikir.
Kulangkahkan kakiku yang lelah dan
keberatan karena menggendong indah menuju kontrakannya. Sekitar sepuluh menit,
aku sampai. Kubaringkan dia dikamarnya, dan aku terus mencoba menyadarkannya.
Kulihat sekelilingku. Dan satu hal yang mengejutkan, disini tak ada orang lain
kecuali aku dan indah yang sudah mulai sadarkan diri. Dia sunggingkan
senyumannya dan tiba-tiba indah memegang tanganku sangat erat.
“Kamu
jangan pergi ya, ansher. Aku takut sendirian” suaranya masih agak lemah dan tak
begitu jelas kudengar. Dia tarik tanganku dan memelukku dari belakang. Hatiku
sebenarnya menolak, tapi jasad ini serasa tak lagi mendengarkan hati. Dia
balikkan tubuhku menghadap padanya dan tak tau mengapa bibirnya semakin dekat
dengan kepalaku dan tiba-tiba dia kecup bibir ini. bukan dalam hitungan detik,
tapi sampai beberapa menit. Begitu lembut dan hangatnya. Kuakui dia teramat
cantik. Tubuh ini semakin tak mendengar bisikan hatiku. Dan mungkin tubuh indah
pun tak sanggup lagi mendengarkan bisikan putih dari hatinya. Begitu jelas tingkah
manjanya padaku. Dia lepas semu kain yang menempel ditubuhnya hingga tak ada
sehelai benangpun yang melekat lagi. Gerak geriknya bak seorang istri bersikap
pada suaminya diatas pembaringan. Seakan-akan dia memaksaku untuk merenggut
harta paling berharga miliknya.
Dan kini sayap merpati pun telah patah
Karena tingkahnya bersama langit.
Tak mampu lagi dia untuk terbang
Hanya penyesalan dan khayal mengulang
yang ada.
Mencoba berlari tapi dia malu
karena kehidupannya tinggal separuh.
Ingin menyalahkan
Tapi tak tahu pada siapa.
Ingin menangis
Tapi tiada arti titik air matanya.
Hanya harap yang ada
Tingkah itu tak menghasilkan buah.
Dan kini langitpun menjadi semakin gelap
Hingga bintang-bintang mati.
# # #
Hari-hariku
menjadi semakin suram setelah tingkahku bersama indah malam itu. Kehormatan
yang sejak dulu aku jaga kini tak ada lagi haraganya. Sekarang aku dan indah
layaknya sepasang suami istri yang sudah saling halal. Tak ada lagi rasa malu
ataupun canggung untuk melakukan hubungan ranjang.
Terhitung sudah hampir
dua bulan ini, aku jarang mengikuti kegiatan perkuliahan. Hari-hariku pun
banyak kuhabiskan untuk ngamen atau sekedar nongkrong dijalanan.
Dan hari ini aku memutuskan untuk ngamen didaerah
“Nak, bisa minta
tolong ndak ?” pinta seorang wanita tua
padaku terbata-bata dan nampak begitu panik.
“Ada apa tho bu ?”
mataku terbuka lebar, aku kaget karena baru kali ini aku berhadapan dengan
orang sepanik ini. beliau tarik kuat tanganku dan mengajak aku berlari
mengikutinya.“cepat tho nak” dia terus berlari dan berlari menuju ke
arah selatan. Langkahku sedikit terhenti ketika kulihat sosok perempuan cantik
tergletak tak sadarkan diri ditepian jalan. Sekujur tubuhnya berlumuran darah.
Orang-orang hanya melihatnya tanpa bertindak apa-apa, mungkin mereka anggapnya
sebagai tontonan. Mulutku kaku, dan tubuh
ini gemetar tak mampu menahan rasa yang merasuk kedada. Antara percaya dan
tidak.
“Indah ?”
“Kamu kenal dia ?”
Tanya ibu itu padaku.
“Iya bu” bicaraku
sedikit terbata-bata karena mulutku masih kaku digerakkan. Aku tak tega melihat
kondisi indah. Kusentuh tangannya dan kucoba untuk menyadarkannya. Akupun
meminta ibu itu menjelaskan penyebab indah menjadi sekarat seperti ini sambil
kubersihkan darah yang ada di badanya dengan jaketku.
“Ibu sudah nelfon rumah
sakit untuk mengirim ambulance kesini, sebentar lagi juga sampai”
Lima belas menit berlalu tapi indah
masih tetap tak sadarkan diri, darahnya pun masih terus menetes dari kapalanya.
Aku semakin gemetar dan kebingungan. Tak banyak yang bisa aku lakukan.
Ketika ambulance sampai. Segera aku
angkat indah dan kumasukkan kedalamnya. Dua puluh menit perjalanan menuju rumah
sakit. Dengan cekatan para petugas rumah sakit melakukan tugasnya masing-masing
Menit berganti menit dan akhirnya dokter memanggilku. Begitu banyak yang
dikatakannya padaku. Namun satu hal yang paling aku ingat adalah dia mengatakan
kalau terjadi kerusakan pada mata indah akibat benturan yang begitu keras dan kemungkinan besar akan
terjadi kebutaan.
Akupun kembali
keruangan tempat indah dirawat untuk menemaninya, karena dia tak punya saudara
disini. Keluarga indah diaceh juga belum mengetahui kejadian yang menimpanya.
Jadi semuanya aku yang menanggung.
“Aku
dimana ini ? Kenapa semuanya gelap ?” rintih indah sambil memegang tanganku.
“Kamu
dirumah sakit, sekarang. Sabar ya, untuk beberapa hari kamu belum bisa melihat.
Nanti juga pasti bisa malihat lagi kog” maafkan aku indah, aku tak sanggup
berkata jujur padamu kalau kamu akan buta seumur hidup. Aku juga tidak rela hal
itu menimpamu. Saat itupun tangis indah pecah hingga dia kembali tak sadarkan
diri.
Esok harinya aku
menemui dokter. Kutanyakan alternatif untuk mengembalikan pengelihatan indah. Menurutnya,
satu-satunya cara mengembalikan pengelihatan indah adalah dengan mengganti
matanya. Masalahnya, harus ada orang yang mendonorkan matanya untuk indah. Tapi
siapa ? tak mungkin ada orang lain yang mau mendonorkan.
Aku ? ya ! akulah yang harus mendonorkan mata
untuk indah. Biarlah aku yang buta seumur hidup. Ini juga untuk menebus semua
kesalahanku padanya dan kesalahanku pada diriku sendiri. Setidaknya dalam
hidupku yang gelap ini aku bisa melakukan kebaikan meski hanya sekali saja.
Keputusanku sudah bulat. Mataku akan kudonorkan ! dan indah tak boleh tahu
niatanku ini.
Kuikuti semua tahapan
yang diberlakukan untuk para pendonor. Mulai dari menandatangani beberapa
berkas dan hingga akhirnya aku masuk keruang bedah. Logikaku masih tak mau
menyerahkan mata ini untuk diambil, tapi hatiku telah sepenuhnya merelakannya. Kubaringkan
tubuh ini dan tak lama kemudian dokter bedah pun mulai melaksanakan tugasnya,
hal terakhir yang aku rasakan dan aku lihat ketika dokter menyuntikkan bius
padaku dan setelah itu perlahan ruangan menjadi semakin gelap dan gelap hingga
tak ada lagi yang mampu aku lihat, dengar dan aku rasakan. Tuhan, inikah terakhir
kalinya aku bisa melihat dunia yang Kau ciptakan ini ?.
* * *
Tuhan, kini hari-hariku
sudah tak berwarna lagi. Semuanya menjadi gelap dan tak berbentuk. Hanya untuk
melihat wajahku yang sekarang saja aku pun tak mampu. Tangan yang dulu biasa
untuk memetik gitar kini beralih fungsi untuk menuntunku berjalan dengan
menggunakan tongkat. Aku tidak buta ! karena aku masih akan bisa melihat
melalui mataku, yang sekarang menyatu dengan tubuh indah.
Hari ini perban operasi
mata indah dibuka setelah beberapa hari lamanya. Kutemani dia ketika perawat
akan membuka perbannya. Tapi aku hanya bisa mendengar suara saja tanpa bisa
menyaksikan bagaimana prosesnya dan bagaimana senyum indah tersungging
dibibirnya.
“Ansher” kudengar
panggilan lembut yang bercampur tangis darinya. Ingin aku pegang tangannya dan
hapus air matanya, tapi aku tak bisa. Semuanya gelap bagiku.
“Iya, kenapa ?” aku
tersenyum tapi aku tak tahu senyumku kearah yang benar atau salah. Biarlah, yang
penting niatku senyum pada indah.
“Bukan begini caranya,
kenapa kamu donorin matamu padaku ?” tangis indah semakin menjadi-jadi dan
kudengar suaranya menjadi parau. Aku tak tahu darimana indah ngerti kalau aku
yang mendonorkan. Mungkin karena dia melihat kelopak mataku yang selalu
tertutup, atau dia diberitahu perawat ?
“Hehee, aku hanya ingin
menebus kesalahanku dulu. Aku baik-baik saja kog meskipun kini buta, toh
sekarang malah mataku bisa melihat tubuh ini secara utuh tanpa harus bercermin,
hehee” kembali kusunggingkan senyumku padanya. Tak tahu mengapa aku semakin
merasakan bahagia meski kini tak sanggup melihat dunia.
“Kenapa ? Kenapa harus
kamu yang mendonorkan mata untukku ?”
“Aku hanya mengikuti
keinginan hati kog, aku bahagia meskipun harus buta seperti ini” mulutku
berhenti bergerak.Tak ada lagi alasan yang bisa aku berikan padanya, aku bingung
untuk berkata.
Begitu
lama aku dan indah saling terdiam tanpa adanya satu katapun yang keluar dari
mulut. Hingga kudengar suara lembut membisiki telingaku, bisikan yang tak
mungkin bisa aku lupakan.
“Izinkan aku menjadi matamu
kemanapun kamu langkahkan kakimu dan dimanapun kamu berada, ansher. Izinkan aku
menjadi istri halalmu” bisik indah ditelingaku. Mulutku terbuka dan kemudian
tertutup kembali, ingin aku berkata padanya tapi tak bisa. Perasaanku campur
aduk antara senang dan tak percaya jika indah masih mau denganku yang buta ini.
* * *
* * *
Tuhan,
terima kasih telah kau berikan hambamu ini berbagai cobaan yang dengan ini mengajarkanku akan hidup dan
membuatku mengerti siapa diriku yang sebenarnya. Mengerti posisi diri ini dan
tentunya sekarang aku mampu menjawab segala tanyaku yang sejak lama kupendam.
Kini tak ada lagi Tanya “Siapakah aku ?” karena segalanya telah terjawab. Kini
aku mampu melihat cahaya dalam gelap butaku
yang sebelumnya tak bisa aku temukan dalam tatap mataku.
…………………………………………………………………………………………………………………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar