Selasa, 19 April 2016

Corat-coret



Sebuah cerita dari teman lama :)
AKU ?

Kulangkahkan kaki kecil  ini di pagi yang seakan-akan meledekku dengan senyum sinisnya. Terdengar nyanyian burung pipit dari rimbunan dedaunan hijau bak sindiran mereka pada langkah lunglaiku. Aku tersenyum tapi tak tahu apa arti dari sunggingan senyumku ini. Ingin aku tertawa lepas, tapi aku bingung apa yang harus ditertawakan. Sesekali ku dongakkan kepala ini dan kutatap tajam cerah biru langit yang menyelimuti bumi.  
Hari ini tepat tanggal 11 agustus. Ya, tanggal yang begitu berarti bagi diriku. Tepat 18 tahun yang lalu seorang bunda berjuang melawan sakit dan rasa takut demi buah hatinya yang menginginkan melihat dunia ini setelah sembilan bulan bersembunyi dalam rahimnya. Ansher, begitulah sang bunda memanggilnya. Yang berarti langit, dan itulah namaku.
Di pagi yang sejuk ini masih ada satu pertanyaan yang logikaku belum sanggup menjawabnya, dan menjadikan diriku tak merasakan bahagia yang ada. Nampak remeh dan sederhana tapi sungguh rumit dan berat saat ku renungkan. “Siapakah aku ?”, itulah pertanyaan yang sempat membuat bulir bening retinaku menitik begitu deras, membuat diriku sadar betapa tak mengenalnya aku pada diriku ini.

Langkahku masih belum terhenti layaknya Odysseus, panglima dari bangsa Achaean yang berlayar selama berpuluh-puluh tahun meninggalkan ketenangan dan terus mencari-cari jawaban dalam gelisah. Dengan satu tujuan.                                                                   
*          *          *
Sekarang langkah kaki ini sudah tak lagi menginjak tanah Semarang, tempat di mana pertama kali aku bisa mungucapkan kata “bunda”, tempat aku dididik dan dibesarkan. Karena sejak beberapa bulan yang lalu aku sudah memutuskan untuk menetap di kota yang disanjung-sanjung sebagai kota pendidikan, Jogja !... aku menetap disini bukan karena pindah rumah ataupun merantau untuk  mencari penghasilan baru, tapi karena aku diterima disalah satu perguruan tinggi di Jogja. Disini ku temukan ‘warna baru’ dari orang dan budaya yang kutemui. Mulai dari A sampai Z, dari putih sampai hitam. Layaknya spectrum warna. Tapi  nyatanya sampai saat ini aku belum menemukan warna yang ada pada diri ini, warna yang masih dalam TANYA, padahal tak henti aku mencarinya. Aku pikir dengan mengenal orang lain, aku mampu mendapatkan jawaban atas pertanyaanku, tapi ternyata TIDAK.
                                             
Ketika langit  mendengar
menitik air karena buta.
     Dan langit pun menatap,
     tapi tak sanggup untuk melihat.
Dia berlari mengejar awan
ditinggal mentari dalam tawa.
     Dia memeluk erat bumi
     yang memberontak dan bertingkah.
Sering celoteh terdengar seakan dia bercanda
Padahal dia diam termenung.
     Satu tanya seribu penjawab,
     tapi tetap tak ada jawaban yang tepat.
Dan tanpa henti mencari-cari jawaban,
tapi malah semakin banyak tanya yang menghadap
                                                                         *         *          *
“Hay boy,…..sore ini masuk kuliah kah ?” Tanya haikal padaku. Dia adalah teman akrabku di jogja, dia asli dari Kediri. Aku bingung dengan pertanyaannya, bukan apa apa sih, tapi karena jujur aku juga tak tahu  pasti masuk kuliah atau tidak. Karena aku termasuk mahasiswa yang tidak begitu rajin.
 “Kayaknya enggak masuk eh kal, kenapa emang ? mau ngapel kerumah siapa ? hehee” sindirku padanya, karena setahuku dia masih jomblo.
 “Diiiiiiiih, tau-tau. Mentang-mentang banyak yang naksir kau boy, seenaknya nyindir diriku yang jomblo ini”. Mulutku terkunci rapat dan kaku karena perkataan yang terlempar dari bibir sahabatku itu. Aku tak enak hati padanya. Memang benar yang dikatakannya, tapi biarlah. Karena sungguh bukan itu yang aku harapkan untuk sekarang ini.
“Eh kal, aku punya pertanyaan untukmu, menurutmu aku ini siapa ?”
“Hahahaa, apaan sih, masak ngasih pertanyaan begitu ?” jawab haikal dengan nada bingung dan tak  percaya.
 “Serius ini kal !, siapakah aku ? aku yang bukan ansher, bukan pula sahabatmu ataupun sebutan-sebutan yang lain. Jawab dong jangkrik !”. Sungguh sampai saat ini aku masih mencari-cari jawaban pertanyaan itu. Ku lihat haikal hanya terdiam tanpa merespon pertanyanku, mungkin dia bingung, atau memang dia tak tau jawaban dari pertanyaanku itu ?.. aaakh, rasanya sia-sia aku bertanya seperti itu padanya. Toh aku malah menjadi semakin bingung. bukannya jawaban yang aku dapatkan, tapi malah pertanyaan baru yang ada. Jangan-jangan orang lain pun tak mengenali dirinya sendiri ? tapi kenapa mereka tenang-tenang  saja ?      aku bingung, sungguh semakin bingung !!  kenapa tak nampak sedikit pun diraut wajah mereka kebingungan seperti yang aku alami sekarang ini.
“Hehehee, aku enggak tahu. . .oh ya boy, dicariin fansmu lhoh, kemaren aku ketemu dia didepan kampus”.  
“Siapa ? jangan ngarang cerita seenaknya sendiri, pasti  kau salah tuh bray !” ku kernyitkan dahiku dan kulihat mimik wajah haikal. Ku lihat dimukanya tersirat keseriusan. Tapi aku masih tetap ragu-ragu untuk mempercayainya.
“Serius ini, boy !. kasihan lhoh, dia nanyain kamu terus” sebisa mungkin haikal meyakinkanku.
            “Siapa sih kal yang kamu maksud ?” aku bingung, dari tadi aku masih tetap gak ngeh dengan yang haikal sebut fansku itu.
“Tuh kan. Jadi begini kalau kebanyakan fans. Anak kontrakan itu lhoh, indah” haikal tersenyum tipis saat menyebutkan nama itu padaku, entah apa makna yang tersirat dari senyumannya itu. Aku tak tahu.
“Terus gue harus bilang WAWWW gitu ? hahahaa” aku coba untuk membelokkan alur pembicaraanku dan haikal tentang indah.
“Yaudah, terserahmu lah, aku cuma ngasih tau kok boy”.
“Hehee, iya, iya. Makasih bray” pembicaraanku dan haikal tentang indah pun tak lagi dilanjutakan. Aku pun memutuskan untuk kembali ke tempat kostku.   
                  #                #               #
            Genap sudah satu bulan aku tidak lagi menetap  di tempat kost, biaya yang tinggi memaksaku untuk membereskan barang-barangku dan meninggalkan tempat kost. Kini aku tinggal dimanapun alias gelandangan. Aku penuhi semua kebutuhanku dengan hasil ngamen. Mulai dari kebutuhan yang berujung ke perut, sampai kebutuhan untuk kuliah. Awalnya aku  canggung dengan pekerjaanku ini, tapi kini aku mencoba untuk menikmatinya karena dengan ngamen lah aku tetap bisa duduk dibangku perkuliahan.
            “Gimana bos, dapat uang berapa malam ini ?” Tanya teman jalananku, teguh. Dia tinggi besar  berkulit hitam dan berambut gondrong.
            “Lumayanlah, dari pada kemarin”. Tangan ini masih saja memetik senar gitar yang aku pegang. Ku nyanyikan beberapa lagu sambil menyusuri jalan menuju Malioboro. Terlihat berbagai bentuk bangunan rumah berjejer indah di sepanjang perjalanan yang dihiasi kerlap-kerlip lampu. Ada sedikit rasa tak enak yang merambat merasuki hati ini. Andai saja aku punya tempat menetap lagi seperti dulu.
Ku sandarkan tubuh ini pada salah satu tembok bangunan di Malioboro. Rokok, kopi dan makanan kecil menjadi temanku menghabiskan malam yang dingin ini.
            “Ansher, … hey, Ansher” kudengar suara yang tak asing ditelinga ini. Dan mataku  terus mencari-cari darimana asal panggilan itu. Kuangkat alis ini dan kubuka mata lebar-lebar.
            “Indah tho ?” kusunggingkan senyum dibibir hitam ini, dan kupinta dia duduk disampingku. Dia tanyakan kabarku dan kegiatanku sekarang ini. begitu pula aku bertanya padanya. perlahan kujawab pertanyaan dia, dan dia pun menjawab semua tanyaku.
            “Ansher, aku kangen kamu” tak tahu mengapa air mata indah menitik begitu deras dan terus menetes, dia sandarkan kepalanya dibahu kananku dan tiba-tiba dia tak sadarkan diri, dia pingsan. Aku bingung harus berbuat apa. Kutengok kanan dan kiriku, kuminta bantuan orang-orang untuk menemaniku menggotong indah pulang kekontrakannya, tapi semuanya seakan-akan buta dan tuli.
Sekuat tenaga aku angkat indah sendiri dan kugendong dia. Jangkrik ! Ternyata dia tak seringan yang aku pikir.
Kulangkahkan kakiku yang lelah dan keberatan karena menggendong indah menuju kontrakannya. Sekitar sepuluh menit, aku sampai. Kubaringkan dia dikamarnya, dan aku terus mencoba menyadarkannya. Kulihat sekelilingku. Dan satu hal yang mengejutkan, disini tak ada orang lain kecuali aku dan indah yang sudah mulai sadarkan diri. Dia sunggingkan senyumannya dan tiba-tiba indah memegang tanganku sangat erat.
            “Kamu jangan pergi ya, ansher. Aku takut sendirian” suaranya masih agak lemah dan tak begitu jelas kudengar. Dia tarik tanganku dan memelukku dari belakang. Hatiku sebenarnya menolak, tapi jasad ini serasa tak lagi mendengarkan hati. Dia balikkan tubuhku menghadap padanya dan tak tau mengapa bibirnya semakin dekat dengan kepalaku dan tiba-tiba dia kecup bibir ini. bukan dalam hitungan detik, tapi sampai beberapa menit. Begitu lembut dan hangatnya. Kuakui dia teramat cantik. Tubuh ini semakin tak mendengar bisikan hatiku. Dan mungkin tubuh indah pun tak sanggup lagi mendengarkan bisikan putih dari hatinya. Begitu jelas tingkah manjanya padaku. Dia lepas semu kain yang menempel ditubuhnya hingga tak ada sehelai benangpun yang melekat lagi. Gerak geriknya bak seorang istri bersikap pada suaminya diatas pembaringan. Seakan-akan dia memaksaku untuk merenggut harta paling berharga miliknya.

Dan kini sayap merpati pun telah patah
Karena tingkahnya bersama langit.
Tak mampu lagi dia untuk terbang
Hanya penyesalan dan khayal mengulang yang ada.
Mencoba berlari tapi dia malu
karena kehidupannya tinggal separuh.
Ingin menyalahkan
Tapi tak tahu pada siapa.
Ingin menangis
Tapi tiada arti titik air matanya.
Hanya harap yang ada
Tingkah itu tak menghasilkan buah.
Dan kini langitpun menjadi semakin gelap
Hingga bintang-bintang mati.
                                                                                    #          #          #
            Hari-hariku menjadi semakin suram setelah tingkahku bersama indah malam itu. Kehormatan yang sejak dulu aku jaga kini tak ada lagi haraganya. Sekarang aku dan indah layaknya sepasang suami istri yang sudah saling halal. Tak ada lagi rasa malu ataupun canggung untuk melakukan hubungan ranjang. 
Terhitung sudah hampir dua bulan ini, aku jarang mengikuti kegiatan perkuliahan. Hari-hariku pun banyak kuhabiskan untuk ngamen atau sekedar nongkrong dijalanan. Dan hari ini aku memutuskan untuk ngamen didaerah
Nak, bisa minta tolong ndak ?” pinta seorang wanita tua  padaku terbata-bata dan nampak begitu panik.
“Ada apa tho bu ?” mataku terbuka lebar, aku kaget karena baru kali ini aku berhadapan dengan orang sepanik ini. beliau tarik kuat tanganku dan mengajak aku berlari mengikutinya.“cepat tho nak” dia terus berlari dan berlari menuju ke arah selatan. Langkahku sedikit terhenti ketika kulihat sosok perempuan cantik tergletak tak sadarkan diri ditepian jalan. Sekujur tubuhnya berlumuran darah. Orang-orang hanya melihatnya tanpa bertindak apa-apa, mungkin mereka anggapnya sebagai tontonan.  Mulutku kaku, dan tubuh ini gemetar tak mampu menahan rasa yang merasuk kedada. Antara percaya dan tidak.
“Indah ?”
“Kamu kenal dia ?” Tanya ibu itu padaku.
“Iya bu” bicaraku sedikit terbata-bata karena mulutku masih kaku digerakkan. Aku tak tega melihat kondisi indah. Kusentuh tangannya dan kucoba untuk menyadarkannya. Akupun meminta ibu itu menjelaskan penyebab indah menjadi sekarat seperti ini sambil kubersihkan darah yang ada di badanya dengan jaketku. 
“Ibu sudah nelfon rumah sakit untuk mengirim ambulance kesini, sebentar lagi juga sampai”
Lima belas menit berlalu tapi indah masih tetap tak sadarkan diri, darahnya pun masih terus menetes dari kapalanya. Aku semakin gemetar dan kebingungan. Tak banyak yang bisa aku lakukan.
Ketika ambulance sampai. Segera aku angkat indah dan kumasukkan kedalamnya. Dua puluh menit perjalanan menuju rumah sakit. Dengan cekatan para petugas rumah sakit melakukan tugasnya masing-masing Menit berganti menit dan akhirnya dokter memanggilku. Begitu banyak yang dikatakannya padaku. Namun satu hal yang paling aku ingat adalah dia mengatakan kalau terjadi kerusakan pada mata indah akibat benturan  yang begitu keras dan kemungkinan besar akan terjadi kebutaan.
Akupun kembali keruangan tempat indah dirawat untuk menemaninya, karena dia tak punya saudara disini. Keluarga indah diaceh juga belum mengetahui kejadian yang menimpanya. Jadi semuanya aku yang menanggung.
            “Aku dimana ini ? Kenapa semuanya gelap ?” rintih indah sambil memegang tanganku.
            “Kamu dirumah sakit, sekarang. Sabar ya, untuk beberapa hari kamu belum bisa melihat. Nanti juga pasti bisa malihat lagi kog” maafkan aku indah, aku tak sanggup berkata jujur padamu kalau kamu akan buta seumur hidup. Aku juga tidak rela hal itu menimpamu. Saat itupun tangis indah pecah hingga dia kembali tak sadarkan diri.
Esok harinya aku menemui dokter. Kutanyakan alternatif untuk mengembalikan pengelihatan indah. Menurutnya, satu-satunya cara mengembalikan pengelihatan indah adalah dengan mengganti matanya. Masalahnya, harus ada orang yang mendonorkan matanya untuk indah. Tapi siapa ? tak mungkin ada orang lain yang mau mendonorkan.
 Aku ? ya ! akulah yang harus mendonorkan mata untuk indah. Biarlah aku yang buta seumur hidup. Ini juga untuk menebus semua kesalahanku padanya dan kesalahanku pada diriku sendiri. Setidaknya dalam hidupku yang gelap ini aku bisa melakukan kebaikan meski hanya sekali saja. Keputusanku sudah bulat. Mataku akan kudonorkan ! dan indah tak boleh tahu niatanku ini.
Kuikuti semua tahapan yang diberlakukan untuk para pendonor. Mulai dari menandatangani beberapa berkas dan hingga akhirnya aku masuk keruang bedah. Logikaku masih tak mau menyerahkan mata ini untuk diambil, tapi hatiku telah sepenuhnya merelakannya. Kubaringkan tubuh ini dan tak lama kemudian dokter bedah pun mulai melaksanakan tugasnya, hal terakhir yang aku rasakan dan aku lihat ketika dokter menyuntikkan bius padaku dan setelah itu perlahan ruangan menjadi semakin gelap dan gelap hingga tak ada lagi yang mampu aku lihat, dengar dan aku rasakan. Tuhan, inikah terakhir kalinya aku bisa melihat dunia yang Kau ciptakan ini ?.
                                                            *          *          *
Tuhan, kini hari-hariku sudah tak berwarna lagi. Semuanya menjadi gelap dan tak berbentuk. Hanya untuk melihat wajahku yang sekarang saja aku pun tak mampu. Tangan yang dulu biasa untuk memetik gitar kini beralih fungsi untuk menuntunku berjalan dengan menggunakan tongkat. Aku tidak buta ! karena aku masih akan bisa melihat melalui mataku, yang sekarang menyatu dengan tubuh indah.
Hari ini perban operasi mata indah dibuka setelah beberapa hari lamanya. Kutemani dia ketika perawat akan membuka perbannya. Tapi aku hanya bisa mendengar suara saja tanpa bisa menyaksikan bagaimana prosesnya dan bagaimana senyum indah tersungging dibibirnya.
“Ansher” kudengar panggilan lembut yang bercampur tangis darinya. Ingin aku pegang tangannya dan hapus air matanya, tapi aku tak bisa. Semuanya gelap bagiku.
“Iya, kenapa ?” aku tersenyum tapi aku tak tahu senyumku kearah yang benar atau salah. Biarlah, yang penting niatku senyum pada indah.
“Bukan begini caranya, kenapa kamu donorin matamu padaku ?” tangis indah semakin menjadi-jadi dan kudengar suaranya menjadi parau. Aku tak tahu darimana indah ngerti kalau aku yang mendonorkan. Mungkin karena dia melihat kelopak mataku yang selalu tertutup, atau dia diberitahu perawat ?
“Hehee, aku hanya ingin menebus kesalahanku dulu. Aku baik-baik saja kog meskipun kini buta, toh sekarang malah mataku bisa melihat tubuh ini secara utuh tanpa harus bercermin, hehee” kembali kusunggingkan senyumku padanya. Tak tahu mengapa aku semakin merasakan bahagia meski kini tak sanggup melihat dunia.
“Kenapa ? Kenapa harus kamu yang mendonorkan mata untukku ?”
“Aku hanya mengikuti keinginan hati kog, aku bahagia meskipun harus buta seperti ini” mulutku berhenti bergerak.Tak ada lagi alasan yang bisa aku berikan padanya, aku bingung untuk berkata.
            Begitu lama aku dan indah saling terdiam tanpa adanya satu katapun yang keluar dari mulut. Hingga kudengar suara lembut membisiki telingaku, bisikan yang tak mungkin bisa aku lupakan.
            “Izinkan aku menjadi matamu kemanapun kamu langkahkan kakimu dan dimanapun kamu berada, ansher. Izinkan aku menjadi istri halalmu” bisik indah ditelingaku. Mulutku terbuka dan kemudian tertutup kembali, ingin aku berkata padanya tapi tak bisa. Perasaanku campur aduk antara senang dan tak percaya jika indah masih mau denganku yang buta ini.
                                                                        *          *          *
            Tuhan, terima kasih telah kau berikan hambamu ini berbagai cobaan yang  dengan ini mengajarkanku akan hidup dan membuatku mengerti siapa diriku yang sebenarnya. Mengerti posisi diri ini dan tentunya sekarang aku mampu menjawab segala tanyaku yang sejak lama kupendam. Kini tak ada lagi Tanya “Siapakah aku ?” karena segalanya telah terjawab. Kini aku mampu melihat cahaya dalam gelap butaku  yang sebelumnya tak bisa aku temukan dalam tatap mataku.
…………………………………………………………………………………………………………………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar